Dua Tahun Molor, Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Akhirnya Disahkan

Dalam kawasan Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, yang juga disebut ilalalng embayya, seluruh kehidupan dibalut dalam kesederhanaan, dimana semua yang berbau modern, seperti listrik, jalan aspal, dan produk modern lainnya tak diperkenankan hadir (Foto: Wahyu Chandra).

Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, patut berbahagia. Dalam rapat paripurna dewan, Selasa (17/11/2015), sekitar pukul 12.00 siang, DPRD Bulukumba akhirnya menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan, Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

“Alhamdulillah Perda ini kami sudah tetapkan di paripurna siang ini. Ini adalah Perda terlama yang pernah diproses di dewan. Butuh waktu hampir tiga tahun sampai akhirnya ditetapkan hari ini,” ungkap Andi Hamzah Pangki, Ketua DPRD Bulukumba ketika dihubungi Mongabay, Selasa (17/11/2015).

Keberadaan Perda ini, menurut Hamzah, menjadi kebanggaan tersendiri, karena Bulukumba termasuk daerah pertama di Indonesia memiliki Perda perlindungan masyarakat adat.

“Baru ada lima kabupaten di seluruh Indonesia yang hampir bersamaan telah menetapkan perda masyarakat adat, termasuk Perda yang baru kami tetapkan. Ini sejarah tersendiri,” ujarnya.

Hamzah berharap kehadiran Perda ini sendiri bisa semakin mengukuhkan eksistensi masyarakat adat Ammatoa Kajang dan akan mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah daerah di masa yang akan datang.

Ia juga berharap keberadaan Perda ini bisa diikuti dan menjadi contoh bagi pemerintah daerah lain yang memiliki masyarakat adat di wilayahnya.

“Besok saya ke Jakarta atas undangan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk bicara di depan seluruh Ketua DPRD di Indonesia, berbagi pengalaman bagaimana kami melahirkan perda adat ini,” tambahnya.

Kebanggaan lain yang dirasakan Hamzah adalah besarnya apresiasi berbagai pihak atas lahirnya Perda ini. Atas komitmennya dalam mendukung dan memajukan masyarakat adat di daerahnya, Bulukumba dan empat kabupaten lainnya bahkan akan mendapatkan penghargaan dari presiden Jokowi pada tanggal 28 November mendatang.

Udin Hamzah, Ketua Pansus Perda ini, juga bernafas lega. Keberadaan Perda ini menurutnya penting bukan hanya untuk mempertahankan identitas daerah tapi juga diharapkan akan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Kajang.

“Dengan adanya Perda ini artinya akan ada tanggungjawab pemerintah untuk masyarakat adat Kajang, termasuk pada masalah kesejahteraan, membantu dalam membangun perekonomian masyarakat yang ada di sana dengan berdasar pada potensi yang ada.”

Menurutnya, di masyarakat adat Ammatoa Kajang sendiri memiliki banyak produk-produk ekonomi yang bisa dikembangkan, tidak hanya sebatas wisata budaya seperti selama ini, namun juga ada produk asli lokal seperti sarung tenun khas Kajang yang telah dikenal luas.

“Selama ini perhatian pemerintah belum maksimal lah. Dengan adanya Perda ini kita harapkan dukungan-dukungan bisa terus dilakukan. Kita pertahankan keluhuran budaya Kajang dengan segala keunikannya.”

Lamanya proses perda ini menurut Udin, terkait banyak hal yang bersifat sensitif, misalnya kelembagaan adat yang harus diselesaikan internal dan batas-batas wilayah kawasan yang harus ditetapkan secara hati-hati.

“Kita berupaya berhati-hati dalam membuat Perda ini karena menyentuh hal-hal yang sensitif, dan kita berharap setelah perda ini lahir bisa memuaskan semua pihak yang terkait,” tambahnya.

Udin juga menilai Perda ini bisa menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini terjadi dalam masyarakat sendiri serta melindungi dari pengaruh luar.

“Kita berharap dengan adanya perda ini nantinya tidak akan ada lagi dualisme pemangku adat seperti yang pernah terjadi. Perda ini akan melindungi dari hal-hal seperti itu.”

Andi Buyung Saputra, Camat Kajang, yang di dalam struktur adat Ammatoa Kajang juga tercatat sebagai labbiria atau kepala pemerintahan adat, menyatakan bahwa keberadaan Perda ini akan semakin memperkuat keberadaan masyarakat adat Ammatoa Kajang dari segi hukum.

“Secara de facto kan adat Kajang itu tetap akan ada meski tanpa adanya Perda. Keberadaan Perda ini adalah legalitas hukum yang secara de jure memperkuat apa yang sudah ada,” katanya.

Selanjutnya ia berharap kelahiran Perda ini menjadi momentum bagi kebangkitan masyarakat adat, bukan saja di Kajang sendiri, tapi juga bagi daerah-daerah lainnya.

“Kita berharap ini bisa menjadi pembelajaran bagi daerah lain dalam berproses dalam melindungi masyarakat adatnya. Kita bangga karena nantinya ini sumbangan Kajang tidak secara lokal dan nasional tapi juga bagi dunia internasional. Masyarakat adat lain nantinya bisa dating ke sini untuk belajar tentang Perda ini,” tambahnya.

Ia menilai lamanya proses pembahasan Perda ini sebagai hal yang wajar karena mengejar hasil yang berkualitas.

“Kita ingin agar memang benar-benar berkualitas dan hasilnya bahwa perda ini memang benar-benar sangat lengkap dibanding perda di daerah lain. Kalau di Jambi misalnya, hanya mengatur hubungan masyarakat adat dengan hutan, di Kalimantan hanya sebatas masyarakat adat saja. Di Perda Kajang ini, semuanya ada, dari hutan hingga masyarakat adatnya sendiri.”

Hal yang paling penting dari keberadaan Perda ini, menurut Buyung adalah akan menjadi proteksi dari upaya-upaya yang akan menggerus keluhuran adat Ammatoa Kajang yang berasal dari masyarakat Kajang sendiri.

“Tanpa Perda pun masyarakat adat Kajang akan tetap ada, namun kita juga mesti realistis bahwa zaman akan terus berubah. Apa yang ada saat ini belum ada akan sama di masa yang akan datang. Dalam konteks inilah perda ini dibutuhkan dari pengaruh-pengaruh yang akan terjadi di masa yang akan datang.”

Mansyur Embas, salah seorang tokoh masyarakat Ammatoa Kajang berharap keberadaan perda ini benar-benar bisa memberi perlindungan bagi kawasan hutan yang ada di kawasan Ammatoa Kajang.

Ia menilai selama ini banyak kawasan hutan adat yang hilang karena ulah dari aparat pemerintah sendiri, khususnya Dinas Kehutanan, yang mengambil alih kawasan hutan yang sebenarnya masih termasuk sebagai hutan adat.

“Sudah ada beberapa hutan adat yang hilang, luasnya ribuan hektar, di Binuang dan Dempu misalnya. Itu diambil begitu saja untuk kepentingan pribadi. Semoga ke depan dengan adanya perda ini bisa melindungi hutan-hutan yang ada.”

Sardi Razak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, berharap setelah adanya perda ini bisa menjadi motivasi bagi daerah lain di Sulsel yang sedang berproses terkait perda masyarakat adat ini.

“Ini bisa menjadi contoh baik, tidak hanya dalam proses tapi juga subtansi, pembelajaran untuk mempercepat lahirnya perda ini di daerah lain.”

Selain Bulukumba, daerah lain yang diharapkan akan segera menyusul penetapannya adalah Kabupaten Enrekang, Luwu Timur dan Luwu. Selain itu, inisiasi juga sedang berlangsung di Kabupaten Sinjai, Toraja dan Toraja Utara.

Menurut Sardi, Perda Ammatoa Kajang ini patut dicontoh karena prosesnya yang sangat partisipatif, dikerjakan oleh banyak pihak dan sifatnya dari bawah. Dari segi subtansi juga sangat lengkap karena mencakup banyak hal.

“Kita berharap hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain yang mendorong Perda yang sama.”

Sardi juga berharap dengan ditetapkannya Perda ini bisa mendorong percepatan penetapan UU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang setelah sekian tahun berproses namun belum juga ditetapkan oleh DPR.

“Ini bisa menjadi dorongan dari daerah agar UUPMHA bisa segera ditetapkan juga.”

Secara formal sendiri proses lahirnya perda ini dimulai dengan dibentuknya tim penyusun Ranperda melalui SK Bupati Bulukumba No 760/VII/2013 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Bulukumba tertanggal 10 Juli 2013. Selain dari pihak Pemda dan masyarakat adat Ammatoa Kajang, sejumlah pihak terlibat dalam proses ini antara lain dari AMAN Sulsel, Balang Institute dan CIFOR.

Dalam prosesnya, pembahasan Perda ini berlangsung cukup alot dan sempat menimbulkan pertentangan di internal tim penyusun sendiri. Mulai dari penamaan Perda hingga penetapan batas kawasan adat yang sempat berganti beberapa kali.

Jika di awal, target penetapan Perda hanya sekitar enam bulan sejak pembentukan tim penyusun draft Ranperda, dalam perkembangannya terus mengalami penundaan.

Masalah lain adalah pada penentuan batas kawasan yang sempat mengalami beberapa kali revisi. Penyebabnya adalah pada pemaknaan batas kawasan sebagaimana yang termaktub dalam pasang ri kajang.

Pasang ri kajang sendiri adalah hukum tak tertulis yang disampaikan oleh Bohe atau Ammatoa, pemimpin spiritual tertinggi di komunitas ini, yang merupakan pesan turun temurun yang diyakini berasal dari Ammatoa pertama yang diturunkan hingga ke Ammatoa yang ada sekarang ini.

Peran Andi Buyung, sebagai Camat Kajang yang sekaligus sebagai Labbiria menjadi salah faktor penting menyelesaikan pertentangan yang terjadi.

“Sebagai labbiria saya memiliki kekuatan untuk memveto keputusan-keputusan yang ada dan menyelesaikan dualisme yang terjadi dalam kepengurusan adat. Ada banyak cerita yang menegangkan dari proses Perda, dan akhirnya semua bisa diselesaikan dengan baik,” aku Buyung.

Perdebatan tentang batas kawasan baru tuntas setelah dilakukan pertemuan antar tim pansus dengan tim pemetaan dan pemangku adat Ammatoa Kajang di Makassar, pada 13-14 November 2015, atau dua hari sebelum perda ini ditetapkan.

“Hasil finalisasi peta inilah yang kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan bersamaan dengan disahkannya perda,” ungkap Sardi.

Oleh Wahyu Chandra

Sumber: www.mongabay.co.id


Related Project:

Cerita terbaru

Lowongan Pekerja Program LifeMosaic di Indonesia

2nd Aug 2021
Kesempatan khusus untuk bergabung dengan tim kecil LifeMosaic yang bersemangat. Kami sedang mencari Pekerja Program untuk mendukung gerakan masyarakat adat di Indonesia. Tenggat pengiriman lamaran tanggal 16 Agustus 2021.


Lowongan Pekerjaan di LifeMosaic

2nd Sep 2019
Ingin bergabung dengan tim LifeMosaic yang bersemangat? Kami sedang mencari Pekerja Program untuk mendukung gerakan masyarakat adat di Indonesia. Tenggat pengiriman lamaran tanggal 16 September 2019.


© 2024 Copyright LifeMosaic
LifeMosaic adalah lembaga nir laba yang tercatat (Nomer pencatatan : SC300597) dan lembaga amal tercatat di Skolandia dengan nomer SC040573