Latar Belakang

Hak-hak Atas Tanah

Di seluruh penjuru dunia, terjadi banyak transaksi tanah di atas lahan dan wilayah masyarakat adat, seringkali tanpa sepengetahuan, partisipasi atau persetujuan sebelumnya dari mereka. LifeMosaic sedang mempersiapkan perangkat (toolkit) tentang hak-hak atas tanah dan perampasan lahan untuk masyarakat, berdasarkan suara dan pengalaman masyarakat adat serta komunitas lokal di Asia Tenggara, Amerika Latin dan Afrika. Perangkat tersebut dirancang guna memperkuat gerakan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan hak-hak atas tanah.

Masyarakat yang memiliki keamanan hak-hak tenurial sering kali merupakan pengelola dan pelindung yang paling efektif dari hutan dan sumber daya alam di wilayah mereka. Amannya hak-hak tenurial masyarakat adat dan komunitas lokal dapat membawa berbagai manfaat untuk resiliensi budaya, ketahanan pangan, hak-hak perempuan, pencegahan konflik, penanggulangan kemiskinan, keanekaragaman hayati, tata kelola hutan serta keamanan iklim.

Namun, banyak masyarakat adat dan komunitas lokal di wilayah tropis yang tidak memiliki hak tenurial atau hak-hak mereka tidak dihormati. Mereka juga dipinggirkan dalam pengambilan keputusan terkait tanah. Antara tahun 2000-2010, diperkirakan terjadi transaksi tanah skala besar sekitar 30-50 juta hektar di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Transaksi tersebut dipicu oleh meningkatnya permintaan global, terutama untuk makanan, bahan bakar nabati (biofuel) serta bahan galian.

Saat ini, guna memenuhi permintaan sumber daya, pembangunan skala besar seperti penebangan hutan, pembangunan dam, pertambangan, ekstraksi bahan bakar fosil, dan perkebunan telah mengabaikan wilayah, mata pencaharian dan hak-hak asasi masyarakat adat, serta menghancurkan ekosistem lokal tempat mereka bergantung. Jika permintaan bahan mentah terus meningkat dengan tren saat ini, ekstraksi sumber daya global akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050.

Demam tanah telah menyebabkan: menyempitnya mata pencaharian di pedesaan serta musnahnya ketahanan pangan karena masyarakat digusur atau kehilangan akses ke sumber daya dan jasa ekosistem; meningkatnya konflik, kekerasan serta pelanggaran hak-hak asasi manusia; dampak negatif yang tidak proporsional pada kaum termiskin, khususnya pada perempuan; konversi ekosistem alam besar-besaran, dengan penghancuran hutan serta lahan gambut yang menyebabkan emisi gas rumah kaca yang tinggi.

Banyak transaksi tanah terjadi di atas tanah dan wilayah masyarakat adat, seringkali tanpa sepengetahuan, partisipasi atau persetujuan sebelumnya dari mereka. Banyak perusahaan di seluruh dunia menggunakan taktik-taktik serupa untuk memperoleh lahan: bualan janji lapangan kerja atau jasa; tanda tangan kehadiran masyarakat dalam pertemuan digunakan untuk membuktikan persetujuan masyarakat untuk penyerahan lahan; ancaman dan intimidasi; kooptasi dan korupsi para pemimpin lokal.

Indonesia dan Hak-hak Atas Tanah

Saat ini, pemerintah daerah di indonesia berencana memperluas perkebunan dan pertambangan hingga 30 juta hektar di tahun 2020; rendahnya keamanan tenurial serta perluasan perkebunan monokultur terus menimbulkan konflik, hilangnya hutan serta berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca dari perubahan penggunaan lahan di dunia

Sampai saat ini 70% dari daratan di Indonesia (130 juta hektar) telah diklaim oleh Kementrian Kehutanan sebagai Wilayah Hutan Negara. Sekitar 33,000 masyarakat adat dan komunitas lokal hidup dalam wilayah yang diperebutkan tersebut. Sampai saat ini, hak-hak tenurial serta sistem pengelolaan hutan masyarakat-masyarakat ini belum diakui oleh pemerintah Indonesia, meski banyak dari mereka yang telah mengelola hutan dan wilayah mereka berdasarkan hukum adat secara turun-temurun.

Pada tanggal 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari Wilayah Hutan Negara, namun hutan yang beralas hak. Keputusan ini sangat potensial untuk mengabsahkan posisi Masyarakat Adat  Indonesia bahwa mereka adalah pemilik lahan, sumber daya dan wilayah mereka.

Tidak diragukan lagi apabila keputusan ini (dikenal sebagai MK35) dianggap sebagai keputusan monumental dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Keputusan ini membangkitkan gairah gerakan guna memperoleh pengakuan hak-hak adat, di mana masyarakat di seluruh nusantara menancapkan pancang-pancang untuk mengklaim kepemilikan mereka atas hutan-hutan adat. Harapannya, keputusan ini dapat menjadi pijakan untuk penyelesaian konflik lahan yang terus meningkat di berbagai wilayah yang diperebutkan tersebut.

Namun, analisa para pakar hak-hak atas tanah Indonesia menunjukkan bahwa MK 35 tidak menjamin pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka, sebab sampai sekarang tidak ada mekanisme hukum di tingkat nasional yang mengabulkan pengakuan tersebut. Meski sudah diadvokasi oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusatara) serta banyak aktor masyarakat sipil lain, nyaris tidak ada komitmen dan kepemimpinan dari para elit di DPR, pemerintah serta lembaga pemerintah lainnya untuk menerbitkan kebijakan yang mengakui hak-hak tersebut hingga saat ini.


© 2024 Copyright LifeMosaic
LifeMosaic adalah lembaga nir laba yang tercatat (Nomer pencatatan : SC300597) dan lembaga amal tercatat di Skolandia dengan nomer SC040573